home

Rabu, 09 Maret 2016

lanjutan sejarah bima

Bima atau yang disebut juga dengan Dana Mbojo telah mengalami perjalanan panjang dan jauh mengakar ke dalam Sejarah. Menurut Legenda sebagaimana termaktub dalam Kitab BO (Naskah Kuno Kerajaan dan Kesultanan Bima), kedatangan salah seorang musafir dan bangsawan Jawa bergelar Sang Bima di Pulau Satonda merupakan cikal bakal keturunan Raja-Raja Bima dan menjadi permulaan masa pembabakan Zaman pra sejarah di tanah ini. Pada masa itu, wilayah Bima terbagi dalam kekuasaan pimpinan wilayah yang disebut Ncuhi. Nama para Ncuhi terilhami dari nama wilayah atau gugusan pegunungan yang dikuasainya.
Ada lima orang ncuhi yang tergabung dalam sebuah Federasi Ncuhi yaitu, Ncuhi Dara yang menguasai wilayah Bima bagian tengah atau di pusat Pemerintah. Ncuhi  Parewa menguasai wilayah Bima bagian selatan, Ncuhi Padolo menguasai wilayah Bima bagian Barat, Ncuhi Banggapupa menguasai wilayah Bima bagian Timur, dan Ncuhi Dorowuni menguasai wilayah Utara. Federasi tersebut sepakat mengangkat Sang Bima sebagai pemimpin. Secara De Jure, Sang Bima menerima pengangkatan tersebut, tetapi secara de Facto ia menyerahkan kembali kekuasaannya kepada Ncuhi Dara untuk memerintah atas namanya.
Pada perkembangan selanjutnya, putera Sang Bima yang bernama Indra Zambrut dan Indra Komala datang ke tanah Bima. Indra Zamrutlah yang menjadi Raja Bima pertama. Sejak saat itu Bima memasuki Zaman kerajaan. Pada perkembangan selanjutnya menjadi sebuah kerajaan besar yang sangat berpengaruh dalam percaturan sejarah dan budaya Nusantara. Secara turun temurun memerintah sebanyak 16 orang raja hingga akhir abad 16.
Fajar islam bersinar terang di seluruh Persada Nusantara antara abad 16 hingga 17 Masehi. Pengaruhnya sagat luas hingga mencakar tanah Bima. Tanggal 5 Juli 1640 Masehi menjadi saksi dan tonggak sejarah peralihan sistem pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Ditandai dengan dinobatkannya Putera Mahkota La Ka’i yang bergelar Rumata Ma Bata Wadu menjadi Sultan Pertama dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir (kuburannya di bukit Dana Taraha sekarang). Sejak saat itu Bima memasuki peradaban kesultanan dan memerintah pula 15 orang sultan secara turun menurun hingga tahun 1951.
Masa kesultanan berlangsung lebih dari tiga abad lamanya. Sebagaimana ombak dilautan, kadang pasang dan kadang pula surut. Masa-masa kesultanan mengalami pasang dan surut disebabkan pengaruh imperialisme dan kolonialisme yang ada di Bumi Nusantara. Pada tahun 1951 tepat setelah wafatnya sultan ke-14 yaitu sultan Muhammad Salahudin, Bima memasuki Zaman kemerdekaan dan status Kesultanan Bima pun berganti dengan pembentukan Daerah Swapraja dan swatantra yang selanjutnya berubah menjadi daerah Kabupaten.
Pada tahun 2002 wajah Bima kembali di mekarkan sesuai amanat Undang-undang Nomor 13 tahun 2002 melaui pembentukan wilayah Kota Bima. Hingga sekarang daerah yang terhampar di ujung timur pulau sumbawa ini terbagi dalam dua wilayah administrasi dan politik yaitu Pemerintah kota Bima dan Kabupaten Bima. Kota Bima saat ini telah memliki 5 kecamatan dan 38 kelurahan dengan luas wilayah 437.465 Ha dan jumlah penduduk 419.302 jiwa dengan kepadatan rata-rata 96 jiwa/Km². selain itu Pemerintah Kota Bima Memiliki 28 Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang terdiri dari :
  1. 2 (dua) Sekretariat terbentuk dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bima Serta Staf Ahli Walikota (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2008 Nomor 85) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 11 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bima Serta Staf Ahli Walikota (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2013 Nomor 144);
  2. 14 (empat belas) Dinas Daerah terbentuk dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Dinas-Dinas Daerah Kota Bima (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2008 Nomor 84) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Dinas-Dinas Daerah Kota Bima (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2013 Nomor 139);
  3. 11 (sebelas) Lembaga Teknis Daerah terbentuk dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Teknis Daerah Kota Bima (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2008 Nomor 86) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Lembaga Teknis Daerah Kota Bima (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2013 Nomor 145);
  4. 1 (satu) Lembaga Lain terbentuk dengan Peraturan Daerah Kota Bima Nomor 5 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Sebagai Bagian Dari Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kota Bima Tahun 2010 Nomor 101, Tambahan Lembaran Daerah Kota Bima Nomor 102).
Sebagai sebuah daerah yang baru terbentuk, Kota Bima memiliki karakteristik perkembangan wilayah yaitu: pembangunan infrastruktur yang cepat, perkembangan sosial budaya yang dinamis, dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi.
Sudah 13 tahun ini Kota Bima dipimpin oleh seorang Walikota dengan peradaban Budaya Dou Mbojo yang sudah mengakar sejak jaman kerajaan hingga sekarang masih dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Kota Bima dalam kesehariannya. Baik sosial, Budaya dan Seni tradisional yang melekat pada kegiatan Upacara Adat, Prosesi Pernikahan, Khataman Qur’an, Khitanan dan lain-lain serta bukti-bukti sejarah Kerajaan dan Kesultanan masih juga dapat dilihat sebagai Situs, Kepurbakalaan dan bahkan menjadi Objek Daya Tarik Wisata yang ada di Kota Bima dan menjadi objek kunjungan bagi wisatawan lokal, nusantara bahkan mancanegara.
Sumber daya alam Kota Bima juga memiliki daya tarik tersendiri sebagai Obyek Daya Tarik Wisata karena letak Kota Bima berada di bibir Teluk yang sangat indah yang menawarkan berbagai atraksi wisata laut dan pantai seperti; berenang, berperahu, memancing, bersantai, melihat kehidupan masyarakat nelayan serta menikmati makanan khas desa tradisional nelayan. Disisi lain alam dan hutan serta hamparan sawah yang luas juga dapat dilihat di Kota Bima.
Suku asli masyarakat Kota Bima adalah suku Bima atau dikenal dalam bahasa lokal nya “Dou Mbojo” dengan mayoritas beragama islam dengan mata pencaharian nya Bertani, Bertenak, Melaut dan sebagian Pegawai Negeri Sipil. Salah satu ke-unikan Kota Bima adalah sebagian dari masyarakat nya juga berasal dari berbagai suku dan etnik di indonesia seperti; Jawa, Sunda, Timor, Flores, Bugis, Bajo, Madura, Sasak (Lombok), Bali, Minang dan Batak sehingga memberi warna tersendiri didalam keseharian mereka di Kota Bima (suku-suku ini selalu memeriahkan upacara dan pawai pada hari-hari besar di Kota Bima) dengan hidup berdampingan secara rukun dan damai serta suasana kondusif.


sumber: http://bimakota.go.id/post/read/24/SEJARAH-KOTA-BIMA

pulau satonada

Satonda di ujung barat Kabupaten Dompu memiliki keindahan yang tiada dua. Menurut legenda, pulau itu tidak boleh dihuni manusia sehingga kecantikannya terjaga. Namun sayang, legenda pun diterabas demi pembangunan.

Legendanya, pulau ini jadi tempat diasingkannya Puteri Dae Minga. Karena kecantikannya, puteri ini diperebutkan oleh banyak kerajaan. Karena menimbulkan sengketa dan pertengkaran, akhirnya sang puteri pun diasingkan atau dibuang ke pulau tersebut.

"Menurut legenda, pulau itu tidak boleh dihuni manusia," kata As At, pemerhati sejarah masyarakat Sanggar saat ditemui detikTravel atas dukungan BPPD NTB di Sanggar, Sumbawa, Senin (10/11/2014).

Namun nyatanya, Pulau Satonda dengan luas sekitar 1.000 hektar ini sudah mulai dihuni. Beberapa calon penghuninya adalah vila dan resor.

"Saat ini rencana dibangun vila atau resor," kata Bupati Dompu, Bambang M Yasin di kantornya, Dompu, Sumbawa, pada hari yang sama.

Alam bawah lautnya mempesona. Terumbu karang dan ikan warna-warni siap menyapa Anda. Keindahan pulau ini telah diakui wisatawan dunia. Kebanyakan, wisatawan yang berlayarlah yang singgah di sana.

Sehingga, pembangunan pun tak ayal terjadi. Lalu, bagaimana dengan kisah legenda yang tak boleh berpenghuni itu?

"Agak sulit berhadapan dengan legenda. Namun beginilah kenyataannya," kata Bambang.





sumber : http://travel.detik.com/read/2014/11/11/081523/2744578/1382/antara-legenda-dan-kenyataan-di-pulau-satonda-sumbawa

SEJARAH BIMA

 COPAS dari wikipedia indonesia

Kesultanan Bima adalah kerajaan yang terletak di Bima.
Penduduk daerah ini dahulunya beragama Hindu/Syiwa. Pada masa Pemerintahan Raja XXVII,yang bergelar “Ruma Ta Ma Bata Wadu”. Menurut BO (catatan lama Istana Bima), menikah dengan adik dari isteri Sultan Makassar Alauddin bernama Daeng Sikontu, puteri Karaeng Kassuarang. Ia menerima/memeluk agama Islam pada tahun 1050 H atau 1640 M, kemudian raja atau Sangaji Bima tersebut digelari dengan “Sultan” yaitu Sultan Bima I, beliau inilah dengan nama Islam-nya “Sultan Abdul Kahir”. Setelah Sultan Bima I mangkat dan digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Abdul Khair Sirajuddin sebagai Sultan II, maka sistem pemerintahannya berubah dengan berdasarkan “Hadat dan Hukum Islam”. Hal ini berlaku sampai dengan masa pemerintahan Sultan Bima XIII (Sultan Ibrahim). Sultan Abdul Khair Sirajuddin adalah putera dari Sultan Abdul Kahir. Dilahirkan bulan + April 1627 (Ramadan 1038 H), bergelar Ruma Mantau Uma Jati. Ia juga bernama La Mbila, orang Makassar menyebut “I Ambela”. Wafat tanggal + 22 Juli 1682 (17 Rajab 1099 H), dimakamkan di Tolo Bali. Menikah dengan saudara Sultan Hasanuddin, bernama Karaeng Bonto Je’ne, pada tanggal 13 September 1646 (22 Rajab 1066 H), di Makassar. Abdul Khair Sirajuddin dinobatkan menjadi Sultan Bima II, pada tahun 1640 (1050 H).
Sultan Nuruddin Abubakar Ali Syah adalah putera dari Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Dilahirkan pada tanggal 5 Desember 1651 (29 Zulhijah 1061 H). Orang Makassar diberi gelar “Mappara bung Nuruddin Daeng Matali Karaeng Panaragang”. Naik tahta pada tahun 1682 (Zulhijah 1093 H). Menikah dengan Daeng Tamemang, saudara Karaeng Langkese puteri Raja Tallo pada tanggal  7 Mei 1684 (22 Jumadilawal 1095 H). Setelah meninggal, diberi gelar “Ruma Ma Wa’a Paju”, karena yang mula-mula memakai Payung jabatan yang berwarna kuning yang terkenal dengan “Paju Monca”.
Sultan Muhammad Salahuddin adalah Putera dari Sultan Ibrahim, dilahirkan pada tahun 1888 (jam 12.00, 15 Zulhijah 1306 H). Dilantik menjadi Sultan Bima XIII pada tahun 1917. Meninggal di Jakarta pada hari Kamis 11 Juni 1951, jam 22.00 (7 Syawal 1370 H) dalam usia 64 tahun. Setelah wafat diberi gelar “Ma Kakidi Agama”, karena menjunjung tinggi agama serta memiliki pengetahuan yang mumpuni dan luas dalam bidang agama. Sejak berumur 9 tahun, memperoleh pendidikan dan pelajaran agama dari ulama terkenal, diantaranya: H. Hasan Batawi dan Syech Abdul Wahab (Imam Masjidil Haram Mekkah). Ia memiliki koleksi buku-buku agama karya ulama-ulama terkenal dari Mesir, Mekkah, Medinah, dan Pakistan. Juga karya oleh Imam Syafi’i. Ia mendalami Ilmu Fiqih dan Qira’ah. Pada era pemerintahannya, tidak mengherankan apabila perkembangan agama mengalami kemajuan pesat terutama di bidang pendidikannya. Wazir Ruma Bicara yang dipegang oleh Abdul Hamid (menggantikan Muhammad Qurais) pada era itu juga mempunyai peran dan menaruh perhatian yang amat besar dalam bidang yang sama.

Daftar isi